Kamis, 04 September 2008

keunikan desa batuan

1.SEJARAH DESA BATUAN
Pada Jaman Pemerintahan Dinasti Warmadewa di Bali, Desa Batuan dengan sebutan Desa Baturan, memang sudah terdapat ada. Nama Baturan akhirnya kemudian disebut Batuan, yang berasal dari kota Batu, oleh karena di Daerah ini adalah Daerah berbatu-batu, lantas selanjutnya karena perubahan pengucapan sehari-hari maka lebih populer dengan sebutan Desa Batuan.

Hal ini dapat kita jumpai dari peninggalan prasasti yang terdapat di “Pura Hayang Tibha” yang dibangun menurut Canderasengkala “Lawang apit gajah” yang berarti Isaka : 829 = tahun : 907M, oleh Srie Aji Darmapangkaja wira Dalem Kesari. Warmadewa yang bertahta di Bali bersinggasana di Singhadwala. Adapun letaknya Pura Hyang Tibha itu adalah di Dusun Blahtanah termasuk wilayah Desa Batuan.

Kemudian pada waktu pemadegan Dinasti Warmadewa yang ke IV ialah Srie Aji Darma Udayana Warmadewa dengan didampingi oleh Permesuri Srie Baginda bernama Gunapriadarmapatni berasal dari jawa Timur yaitu Putri dari Mahendra data. Srie Aji Darma Udayana Warmadewa bertahta sebagai Raja di Bali pada isaka : 989 = tahun 1001 M. dan didalam perkawinan Srie Aji Darma Udayana Warmadewa dengan Gunapriadarmapatni, telah melahirkan 3 (tiga) orang Putra Mahkota antara lain :

1. Srie Aji Airlangga lahir di Bali pada tahun 1000 M. kemudian lalu beliau mengalih ke Jawa menikah dengan Putri Darmawangsa.

2. Srie Aji Marakata bertahta di Bali yang membuat Prasasti kini tersimpan di Desa Batuan berisaka : 944 = tahun 1022 M. akan tetapi semasih usia muda beliau telah wafat.

3. Srie Aji Anak Wungsu yang menggantikan kedudukan Rakanda Srie Aji Marakata bertahta menjadi Raja di Bali dari tahun 1049 s/d tahun 1077.

Pada masa Pemerintahan Srie Aji Darma Udayana Warmadewa dengan didampingi oleh Permesuri Srie Baginda Gunapriadarmapatni, terdapat para anggota Staf Kerajaan yang terkenal pada waktu itu ialah Sanopati Kuturan. Srie Baginda suami isteri sengajab mengundang sira Senopati Kuturan guna diberi pengarahan agar berusaha menertibkan tata kemasyarakatan penduduk di Bali. Kebetulan pada waktu itu sudah tiba saatnya bagi Senopati Kuturan guna menempuh jalan Biksuka atau Saniyasa, melaksanakan hidup mengembara sebagai Empu guna mengamalkan Dharmanya selaku Guru Agama dan Budaya.


Untuk menciptakan ketertiban serta menegakkan kembali sendi-sendi Agama serta Budaya masyarakat di Bali, maka Empu Kuturan segera mengadakan musyawarah besar (Maha-Saba) yang dihindari oleh para pemuka masyarakat serta Para Pandita Siwa-Budha kira-kira di Samuan-Tiga. Didalam musyawarah besar itu telah diambil keputusan dan menetapkan bahwa makna paham/pengertian Trisakti atau Tripurusa harus dipulihkan kembali. Akhirna sejak itu terlaksanalah pengertian Tripurusa landasan dari dibangunnya Pura Kahiyangan Tiga yang melambangkan Upeti Setiti Prlina.

Berhubung pada waktu itu diwilayah Desa Batuan baru terdapat hanya sebuah Pura terletak di Dusun Blahbatuh yang disebut Pura Hiyang Tibha tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Siwa, sebagai lambang Maha Pralina, lalu dibangun lagi Pura terletak di Dusun Cangi tempat nemuja kebesaran Ida Sang Hyang Ageni/Brahma sebagai lambang Maha Pencipta (Uppeti) dan sebuah lagi terletak di Desa Batuan tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Wisnu yang melambangkan Setiti.

Selanjutnya Pura Kahiyangan Tiga yang berada di Wilayah Desa Batuan langsung dibawah Kerajaan Sri Aji Udayana Darmawarmadewa bersama Permesuri Sri Baginda.

Kemudian setelah Srie Baginda suami istri mangkat, pemeliharaan Pura Kahiyangan Tiga itu dilanjutkan oleh putranya yang menggantikan kedudukan Baginda sebagai Raja di Bali yang bergelar “ Srie Darmawangsawardana Marakata Pangkajasthanotanggadewa, sebagai Raja yang ke : V bertahta di Bali.

Sesuai dengan makna Prasasti yang kini masih tersimpan di Pura Puseh Batuan ber Isaka : 944 = tahun 1022 M. tepatnya pada tanggal : 26 Desember 1022 makan pada waktu itu Para Kerama Desa Batuan sepasuktani, dibawah pimpinan :

1. Seorang Petapa bernama : Bhiksu Widiya,

2. Kepala Desa bernama : Bhiksu Sukaji,

3. Juru tulis Desa bernama : Mamudri Gawan,

4. Beserta Para Perangkat Desa lainnya, hendak menghadap kehadapan Srie Aji Darmawangsawardana Marakata Pangkajasthanotunggadewa, dengan diantar oleh Pandita Siwa bernama Empu Gupit dari Ngudalaya, dengan maksud mengajukan permohonan agar Srie Baginda Raja berkenan memberikan keringanan kepada Para Kerama Desa Baturan/Batuan sewilayahnya mengenai ayah-ayahan antara lain :

1. Membebaskan dari kewajiban ngayah rodi,

2. Menghapuskan pengenaan tanggungan dari segala pajak-pajak,

3. Menghentikan menyuguhkan, ( penangu ) ( kepada para Petugas Kerajaan, hanya masih tetap menjadi beban selanjutnya penyungsung serta mengaturkan aci-aci terhadap para Kahyangan Tiga tersebut.

Srie Aji Darmawangsa Wardana Marakata sangat menaruh perihatin terhadap pemohon Para Kerama Desa Batuan sewilayahnya, maka atas kebijakan Srie Baginda yang selalu ingat akan anugrah Ramanda almarhum yang dimakamkan di Ngerwka, hal mana Srie Baginda berkenan untuk mengabulkan permohonan dari Para Kerama Desa Batuan sewilayahnya, dengan Surat Keputusan sebagai yang termaktub didalam Prasasti yang berisaka : 944 = tahun 1022 M. Adapun Prasasti tersebu sampai kini tetap menjadi panyungsungan Desa Batuan yang disebut Ida Sanghiang Aji Saraswati” yang secara pisologi merupakan pelindung dari Para Kerama Desa Batuan sewilayahnya. Dan Piodalannya jatuh pada hari Sabtu, Umanis Watugunung.

Adapun Pura-pura tersebut adalah peninggalan dari Dinasti Warmadewa Raja Bali yang ke : IV, yaitu Srie Aji Darma Udayana Warmadewa serta selanjutnya tetap menjadi Pengawasan Para Raja-raja di Bali.

Pada waktu bertahtanya Srie Aji Astasura Ratna Bumi Banten yang dinobatkan pada tahun 1337 yang bergelar Srie Aji Gajah Waktra atau Srie Tapelung beristana di Bedahulu dengan lebih dikenal sebutan Dalem Bedaulu.

Didalam pemerintahanya Sri Aji Dalem Bedahulu, beliau mempunyai 2 (dua) orang Pembantu masing-masing bernama Ki Patih Pasung Gerigis tinggal di Tengkulak, dan Ki Patih Kiayi Kebo Iwa tinggal di Blahbatuh, maka atas ketekunan beliau selama hidupnya tetap membujang lalu beliau disebut juga Ki Kebo Teruna.

Didalam Pemerintahannya Srie Aji Asta Sura Ratna Bumi Banten/Dalem Bedahulu. Beliau menitahkan Ki Patih Kebo Teruna untuk melakukan pemugaran Pura, Kori/Candi Agung ketiga Pura-pura tersebut yang masih ada sampai sekarang akan tetapi keadaannya sudah sangat menyedihkan.

Setelah hapusnya Dinasti Warmadewa di Bali dipindahkan ke Gelgel dan dinobatkan menjadi sesuhunan Bali Srie Dalem Ketut Ngulesir bertahta dari tahun 1380 s/d tahun 1460. Kemudian jaman Gelgel berakhir juga Ibu kota Kerajaan di Bali dipindahkan ke Klungkung dibawah pemerintahan Ida Dewa Agung Jambe yang bertahta sejak tahun 1700 s/d tahun 1735 dengan menurunkan 4 (empat) Raja Putra antara lain :

1. Ida Dewa Agung Gede tetap bertahta di Puri Klungkung, sebagai sesuhunan Bali,

2. Ida Srie Aji Maha Sirikan dengan gelar Ida Dewa Agung Anom, yang mengalihkan serta membangun Keraton Sukawati dengan Isatana bernama Sukeluih di Gorogak Sukawati,

3. Ida Dewa Agung Ketut Agung kembali beristana di Puri Gelgel,

4. Ida Dewa Agung Ayu Kaleran.

Setelah Ida Srie Aji Maha Sirikan berasal memantu I Gusti Agung Anglurah Mengwi mengalahkan Ki Balian Batur dari Desa Kedangkan kini disebut Desa Rangkan Ketewel, Sebagai imbalan jasa Beliau lalu, I Gusti Agung Anglurah Mengwi mempersembahkan kehadapan Srie Aji berupa wilayah Mengwi dari batas sebelah Barat sungai Pekerisan sampai batas sebelah Timur Suangi Ayung, dan dari tepi pantai sampai dengan Daerah Pegunungan Batur.

Berhubung dengan hal itu, maka sesuai dengan warsaning Candra Sengkala : Naga anaut ganewani yang berarti isaka : 1628 = tahun : 1706 M. lalu Srie Aji Maha Sirikan pindah dari Puri Klungkung mengalih tempat di Desa Batuan dengan disertai oleh para pengiring antara lain :

1. I Dewa Babi,

2. Kiayi Pekandelan Anglurah Batulepang,

3. Ki Kabetan,

4. Ki Bendesa Mas,

5. Pula Sari, dll.nya

Sesudah Srie Baginda 4 (empat) tahun lamanya ber Asrama di Desa Batuan, maka atas presaran serta nasihat dari Ida Pedanda Sakti Teges yang berasrama di Dajantiyis, bagi Baginda disarankan supaya membangun kedatuan agak kearah Selatan dari Desa Batuan yang tepatnya di Desa Timbul/ kini disebut Sukawati.

Menurut Candrasengkala tersebut : Babadnia pada megunerase tunggal, yang berarti isaka : 1632 = tahun 1710 M pada hari Senin, Pahing, Kelau, sasih ketiga beliau pindah dari Desa Batuan menuju tempat Desa Timbul, sedangkan para pengikt beliau dititahkan tetap tinggal di Desa Batuan.

Sebelum Srie Baginda membentuk Kedatuan serta membangun Puri da Pura Penataran, beliau terlebih dahulu mendatangkan 200 (dua ratus) orang pilihan dari klungkung. Yang betul-betul mempunyai keahlian didalam bidang kesenian dan kebudayaan. Akhirnya sesuai dengan Candrasengkala : Jato meguno rase tunggal, yang berarti isaka : 1639 = tahun 1717 M barulah selesai dibangun Puri Gerokgak yang diberi nama Puri Sukeluwih. Sejak masa itulah berkembangnya kesenian dan Kebudayaan di Desa Batuan yang amat tersohor, sehingga kemudian sampai merobah sebutan Desa Timbul menjadi Sukawati.

Selanjutnya kesenian serta kebudayaan di Desa Batuan selalu dapat berkembang dengan semerbaknya. Lestari menuruti situasi masa, dibawah pimpinan Kepala/ Pemuka-pemuka desa, yang namanya kami abadikan dibawah ini, sejak Jaman Dinasti Warmadewa, Mojopahit, Penjajahan Belanda, Pendudukan Jepang dan jaman Kemerdekaan sampai sekarang.

Adapun Pimpinan Desa antara lain :

1. Biksu Widia,

2. Biksu Sukaji,

3. Mamudri Gawang,

4. Ki Kebo Teruna,

5. I Dewa Babi,

6. Kiayi Anglurah Pekandelan Batulepang,

7. Ki Kabetan,

8. Bendesa Mas,

9. Pula sari dll.nya,

10. Dewa Meranggi/ Tegenungan,

11. Dewa Gde Ketut Rai,

12. Dewa Gde Ketut Oka,

13. Dewa Gde Ketut Alit,

14. Dewa Gd Seronggo,

15. Dewa Gde Oka Ukiran,

16. Anak Agung Gde Ngurah,

17. Anak Agung Gde Raka

18. Ida Bagus Wayan Tapa,

19. anak Agung Gde Alit,

20. Ida BAgus Muda,

21. I Nyoman Saweg

22. Tjokorda Gde Oka Karang.